Jumat, 11 Oktober 2019

Mustika Bersulam Emas


Format Text

MUSTIKA BERSULAM EMAS

- Font : Alimony
- Size : 120 pt
- Color : Red & Sand
- Fountain Fill (F11) - Linear - 270 Degres - Red-Sand
- Drop Shadow - Small Shadow - Grey - Subtract

NOVEL PROFETIK - SUFISTIK

- Font : Alimony
- Size : 16 pt
- Color Black

SINOPSIS BELAKANG

- Font : Tw Cen MT
- Size : 9 pt
- Color : White

PENERBIT

- Logo

 - Barcode


 BACKGROUND

- Silver Metal Foil Decoration Background


- 17 August Indonesia Happy Independence Day


- Grass Hut Vector


- Bercak


- Books 720


- Peta Jambi


- Tari Kerinci






- Bendera Indonesia Hold Style



- Peta Indonesia



File Vector nya bisa di Download
disini


Support CorelDraw X7 


TEXT COVER BELAKANG

     Pengembaraan dan pencarian kebenaran dan kesejatian diri bukanlah mudah, namun menempuh proses yang panjang dan perjalanan yang terjal dan melelahkan. Khilaf, salah dan lupa merupakan sifat insani yang dhaif tapi bukan sesuatu yang harus penghalang meraih cintaNya, karena Allah membuka pintu taubat; yakni tempat kembali ke haribaanNya.

    Seperti seruling bambu yang kemerduannya merupakan “rintihan” kesejatiaanya untuk kembali ke asal diri, yakni rumpun bambu.Kuatnya nuansa profetik-sufistik dalam novel ini dibuktikan dengan unsur sastra yang memikat, menggelitik kesadaran dan menggairahkan rasa keagamaan. Dibumbui dengan sensasi dan perenungan nilai-nilai spiritual di lubuk hati yang sublim. Tema moralitas (Mustika Budi) dipadu dengan muhasabah atau introspeksi diri (Mustika Hati), serta berbuhul pada kesejatian diri yang spiritualistik dan transedental (Mustika Diri Sejati). Kemudian diolah dan diramu ke dalam kisah cinta yang menerima dan memberi dan mengikuti unsur inderawi secara simbolik dengan realitas yang lebih tinggi menembus dimensi langit spiritualitas, bahkan menyingkap sisi insaniah menuju keilahiahan, yang merupakan unsur jiwa/ruhani. Menjadi manifestasi kesejatian cinta, bak benang dan tenunan yang rindu kembali kepada kapas, atau umpama seruling bambu yang rindu kembali ke pokok dan rumpunnya.

    Selain itu, nuansa religiusitasnya sangat terasa ke sanubari terdalam, membumi dari sisi kemanusiaan universal, dan menembus langit ruhani dengan kerlap-kerlip cahaya cinta insaniah menuju cinta ilahiah. Realitas ceritanya tampak pada kehidupan sehari-hari sang tokoh yang banyak memetik hikmah pada setiap detak dan detik derap kehidupannya, sehingga sang tokoh senantiasa melakukan kontemflasi untuk menikmati setiap perjalanan spiritual dan intelektual dengan batin yang damai dan tenang. Sebab, rasa cinta Ilahi tertanam di kalbunya. Kemudian keteguhan para tokoh untuk istiqamah menggapai makna religiusitas yang dikemas dengan lembut, haru, anggun dalam pesona iman dan etika ketimuran (Indonesia).Pembaca diajak menelusuri getar-getir cinta para insani tanpa dipanaskan di atas tungku birahi tapi dibawa mencari kesajatian cinta pada kesubliman kalbu. Cinta, persahaban, dan komitmen pada tujuan adalah esensi mencari kebenaran dalam merajut cinta sejati-Nya. Novel Mustika Bersulam Emas ini membawa Anda pada spiritualitas dan transedental cinta murni seputih kapas dan sebening kaca tanpa berakhir dengan dendam dan permusuhan

- Irwanto Al-Krienciehie -

 

SINOPSIS NOVEL PROFETIK - SUFISTIK

Novel yang berjudul: MUSTIKA BERSULAM EMAS  merupakan novel profetik-sufistik yang mengangkat kearifan lokal yang ada di etnik Indonesia (Kerinci-Jambi). Yakni aset budaya yang tersimpan rapi, yakni: hukum adat dan agama yang mengakar dahulunya di masyarakat serta seni budaya seperti: Asyek, Tari Rangguk, Sike Rebana, Keba, Kunun, dan seni sastra yakni Gurindam Koerintji yang mendarah-daging. Namun, proses modernisasi dan globalisasi sering mengerus cara pandang dan prinsip spiritualitas manusia era kelimpahan, sehingga muncul hal-hal yang bersifat materialisme, individualisme, primisivisme, glamorisme dan isme-isme lainnya. Apalagi pada ranah agama dan budaya, sering generasi muda kehilangan jatidiri sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya. Sehingga hampir agama dan budaya hanya tinggal cerita tanpa bekas.

Pengembaraan dan pencarian kebenaran dan kesejatian diri bukanlah mudah, namun menempuh proses yang panjang dan perjalanan yang terjal dan melelahkan. Khilaf, salah dan lupa merupakan sifat insani yang dhaif tapi bukan sesuatu yang harus penghalang meraih cintaNya, karena Allah membuka pintu taubat; yakni tempat kembali ke haribaanNya. Seperti seruling bambu yang kemerduannya merupakan “rintihan” kesejatiaanya untuk kembali ke asal diri, yakni rumpun bambu.    

Novel ini melalui penelitian pengarang dengan pendekatan ilmu sosial profetik dengan tiga pilar, yakni humanisasi, liberasi, dan transedental. Hal tersebut merupakan filsafat kenabian (profetik) supaya nilai ketuhanan dan kemanusiaan tidak diberangus dan “dibunuh” di era globalisasi sekarang ini. Maka, novel ini mencoba menghadirkan gren sastra profetik-sufistik yang tidak cukup dipahami dengan bahasa lisan, makna simbolik, dan laku moral, akan tetapi harus dipahami dari bahasa jiwa-kemanusiaan, makna subtantif dan laku batin terdalam.

Kehadiran novel ini sangat berbeda dengan novel Islami yang senantiasa mengawal tokoh cerita dengan standar fiqh, gelora cinta lawan jenis yang dipasung pengarang, dan lebih kepada “dramatisasi” adegan dakwah, serta kurang memberi perenungan (transedental) pada khalayak pembaca.

Kuatnya nuansa profetik-sufistik dalam novel ini dibuktikan dengan unsur sastra yang memikat, menggelitik kesadaran dan menggairahkan rasa keagamaan. Dibumbui dengan sensasi dan perenungan nilai-nilai spiritual di lubuk hati yang sublim. Tema moralitas (Mustika Budi) dipadu dengan muhasabah atau introspeksi diri (Mustika Hati), serta berbuhul pada kesejatian diri yang spiritualistik dan transedental (Mustika Diri Sejati). Kemudian diolah dan diramu ke dalam kisah cinta yang menerima dan memberi dan mengikuti unsur inderawi secara simbolik dengan realitas yang lebih tinggi menembus dimensi langit spiritualitas, bahkan menyingkap sisi insaniah menuju keilahiahan, yang merupakan unsur jiwa/ruhani. Menjadi manifestasi kesejatian cinta, bak benang dan tenunan yang rindu kembali kepada kapas, atau umpama seruling bambu yang rindu kembali ke pokok dan rumpunnya.

Selain itu, nuansa religiusitasnya sangat terasa ke sanubari terdalam, membumi dari sisi kemanusiaan universal, dan menembus langit ruhani dengan kerlap-kerlip cahaya cinta insaniah menuju cinta ilahiah. Realitas ceritanya tampak pada kehidupan sehari-hari sang tokoh yang banyak memetik hikmah pada setiap detak dan detik derap kehidupannya, sehingga sang tokoh senantiasa melakukan kontemflasi untuk menikmati setiap perjalanan spiritual dan intelektual dengan batin yang damai dan tenang. Sebab, rasa cinta Ilahi tertanam di kalbunya. Kemudian keteguhan para tokoh untuk istiqamah menggapai makna religiusitas yang dikemas dengan lembut, haru, anggun dalam pesona iman dan etika ketimuran (Indonesia).

    Novel ini mengangkat tema pendidikan karakter  (integritas intelektualitas dan spiritualitas)  yang dikemas dengan nilai-nilai kearifan lokal, dengan  menampilkan tokoh cerita yang mewakili genius local, yakni orang-orang yang bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Dengan genius local inilah problematika di akar rumpun dapat diselesaikan, bukan menunggu solusi dari atas alias kekuasaan atau penguasa.

    Cerita fiksi ini didedah dari keprihatinan seorang tokoh masyarakat yang risau melihat keadaan masyarakatnya sendiri, seperti: maraknya peredaran tuak, narkoba, minuman keras, judi, sabung ayam, dan perilaku amoral dan asusila lainnya.

    Pak Altaf (tokoh masyarakat) bertemu dengan sosok anak muda (Ahsan)  yang peduli dengan situasi lingkungannya dan ia sedang melakukan pengembaraan spiritual untuk menemukan jalan kebenaran; pak Altaf  Basyar berdiskusi dengan anak muda (Ahsan) tersebut dalam hal kesenian seruling bambu dan identitas budaya. Ternyata Ahsan menaruh simpati pada pak Altaf. Novel ini juga menghadirkan pak Amsal,  pak Sokdiman, dan  pak Sinardi (ketiga tokoh antagonis ini hanya rekaan dan gelar adatnya pun fiktif belaka). 

    Karena gagal membangun masyarakat berkeadaban melalui lembaga resmi, yakni kerapatan adat, maka pak Altaf menghimpun kekuatan masyarakat yakni para tokoh adat yang punya kepedulian yakni: pak Ahmad Husein, Abdul Latif, Imaduddin, Abdul Qahar, dan generasi muda seperti: Ahsan, Fakhira, Durratul, Irty, Ghaidatul, Syafiq dan Haidar, serta kaum ibu seperti: Irbatunnisa, Nur Hasanah, Nur Jannah, Salima dan Maimunah. Maka, disepakatilah nama lembaga untuk membangun masyarakat baru yang tercerahkan adalah lembaga pendidikan nonformal yakni: ‘Bahung Cendekia Leardership Centre’ yang disingkat dengan BC-Ler.

    Pendirian BC-Ler mendapat respon masyarakat, masyarakat bahu-membahu mendirikan BC-Ler yang berbentuk bahung (‘saung’) alias pondokan; bahung dibuat seperti kelas tapi berdinding bambu, beratap ilalang, duduk di atas lapik anyaman, dan pakai meja kayu; di bagian samping bahung dibuat pasar hasil pertanian dan kerajinan masyarakat yang berbentuk lapak (pedagang kaki lima); dilengkapi dengan kolam ikan dan tempat ternak ayam dan itik serta taman gizi keluarga bagi ibu-ibu dusun.

    Sejak berdirinya BC-Ler banyak yang tidak senang, bahkan dari pemangku adat sendiri, mereka beranggapan akan mengurangi penghormatan masyarakat kepada mereka. Sebab, mereka yang menjadi pemangku adat, yang merupakan ‘kasta’ sosial yang tinggi. Maka mereka dengan daya upaya ingin menghancurkan BC-Ler, bahkan membuat acara tandingan saat peresmian BC-Ler.

    Konflik batin terjadi antarsesama pengelola BC-Ler serta antara pengelola BC-Ler dengan warga sekitar, serta konflik pencarian kesejatian diri dalam mencari kebenaran dan menemui Tuhan.

    Pak Altaf merasa bahagia setelah ide bersamanya dengan pemangku adat dan generasi muda diterima pemangku adat lainnya dan seluruh warga masyarakat. Pak Altaf melakukan harmonisasi dengan alam, ia meniup seruling bambunya. Keindahan tiupan seruling pak Altaf di balas Ahsan. Pak Altaf dan Ahsan berpelukan. Pak Altaf mengajak Ahsan berdiskusi tentang filosofi seruling. Di sanalah Ahsan mengetahui kedalaman pengetahuan dan pengalaman pak Altaf. Namun, ketika di akhir penjelasanya pak Altaf pinsan dan digotong ke rumahnya. Kondisi pak Altaf tidak stabil, kalimat syahat menjadi lafas terakhir keberangkatanya menuju Allah. BC-Ler, warga, dan pemangku adat tumpah ruah melayat ke rumahnya, karena mereka merasa kehilangan sang tokoh perubahan di akar rumput; yang terjauh dari kultus individu, popularitas, dan liputan media.

    Novel yang bersetting Kerinci tahun 80-an yang digambarkan sesuai dengan kondisi alam Kerinci yang eksotis, serta tempat cerita digambarkan secara mendetil dan waktu kejadian runut, sehingga menjadi kekuatan cerita tersendiri dengan spesifikasi etnik Indonesia.

    Alur cerita yang mengalir tanpa mengurui, tertata rapi dan teratur, sehingga konflik batin dikemas seperti cerita yang sesungguhnya. Dan, di ‘dekorasi’ dengan bahasa estetik serta dibumbui nilai-nilai filosofi dan profetik-sufistik dalam novel: MUSTIKA BERSULAM EMAS keharibaan pembaca yang budiman.

    Tema pendidikan karakter yang dipadukan dengan nuansa lokal, membuat novel ini punya kekhasan tersendiri. Karena di tengah pemerintah Republik Indonesia mencari format pendidikan karakter, maka pengarang menyajikan solusi pendidikan karakter yang berbasis agama dan budaya bangsa Indonesia. 

    Maka, pengarang merekomendasikan novel ini untuk pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Menengah RI, serta Kementerian Agama RI dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Semoga dengan novel ini menginspirasi untuk bersama-sama bahu-membahu menyelamatkan anak bangsa dari penyakit masyarakat (pekat), seperti: miras, tauran, perjudian, sabung ayam, zina, dan sejenisnya. 

Selain itu, tokoh perempuan dan anak-anak serta remaja dalam novel ini diberi ruang yang luas untuk mengespresikan semangat intelektualitasnya pada gerakan ilmu dan pencarian spiritualitasnya dengan kesadaran beragama tanpa paksaan, sehingga novel ini sangat ramah terhadap perempuan, anak-anak dan remaja. Ini merupakan bagian dari kampanye anti kekerasan pada perempuan, anak dan remaja di tengah kondisi bangsa yang darurat kekerasan terhadap perempuan, anak dan remaja. Sungguh ini merupakan novel ber’gizi’ bagi orang tua, anak-anak, remaja, perempuan, mahasiswa, akademisi dan masyarakat pembaca pada umumnya. 

Tampilan Text tanpa Background


Tampilan Background tanpa Text  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar